Monday 21 December 2015

Ketika Separo Pelajar Setujui Gerakan Islam Radikal



Di Institute Pertanian Bogor (IPB), gerakan Islam  radikal yang masuk melalui organisasi mahasiswa sudah dirasakan oleh Zimamul Adli, aktivis Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) ITB yang menjadi pembicara pada seminar Nasional bertajuk "Dakwah Online Kalangan Masyarakat Menengah" di Pondok Pesantren As-salafiyyah, Bode Lor, Plumbon, Cirebon, Jawa Barat (19/12/2015) dalam rangkaian acara Forum Silaturrahim Nasional (FORSILATNAS) ke-5 Persaudaraan Profesional Muslim (PPM) Aswaja.

Dalam kesempatan tersebut, Zimam menuturkan strategi dakwah di kampus yang tidak bisa dan memang tidak boleh berhadap-hadapan langsung dengan aktivis radikal semacam HTI, KAMMI dan lainnya.

Menurutnya, di IPB, tidak ada dosen yang terang-terangan mengaku kalau dia berafiliasi kepada organisasi Aswaja Nahdlatul Ulama. Sekali ngaku, gampang "habis semua" dalam tempo secepatnya. Karena organisasi mahasiswa yang sudah menguasai kampus, sistem sudah ditutup rapat untuk kalangan sarungan seperti Zimam.

"Di kampus, kita tidak boleh menggunakan strategi provokatif. Dulu sarung dan kopyah (peci) tidak pernah dikenakan anak kampus. Namun karena kita keseringan posting di Facebook, menggunakan pakaian sarung pergi ke kampus, kini bisa lebih diterima. Bahkan, ketika mengadakan acara pun, yang bekerjasama dengan KAMMI, kita menggunakan istilah do'a bersama. Padahal isinya ya tahilan. Mereka menerima dan tidak ada yang menuduh negatif karena judul bacaan tahlil di lembaran dzikir yang dibagikan ke mereka, kita hapus. Ini artinya, mereka itu hanya mengikuti apa yang didapatkan. Mereka tidak terlalu paham dengan yang mereka yakini," tegas Zimam.

Cerita Zimam tentu tidak akan dijumpai jika para mahasiswa -calon masyarakat menengah itu,- sejak sekolah mendapatkan pemahaman memadai tentang ajaran-ajaran Islam yang ramah, rahmat tanpa marah. Chasan Habibie yang dalam seminar itu mewakili Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan data survei dari Setara Institute.

Dia menuturkan, jika setengah dari jumlah pelajar di Jakarta ternyata mengamini pemahaman Islam radikal sebagaimana konsisten telah "difitnah-hoax"kan oleh situs-situs radikal yang rajin mencuci otak pembaca. Parahnya, kata Chasan, satu dari 14 pelajar SMA di Jakarta setuju dengan gerakan ISIS menurut penelitian itu.

"Bayangkan bila di Indonesia ada 14 juta siswa, berarti ada 1 juta siswa kita di SMA yang setuju dengan gerakan ISIS. Ini akan lebih mengkhawatirkan jika data ini masih konsisten hingga 5 atau 10 tahun mendatang. PPM Aswaja untuk dakwah online saya kira sudah memberikan dampak walaupun saya katakan belum menjadi pemenang sepenuhnya. Survei Setara ini sudah menjadi keprihatinan tersendiri oleh Pak Mendikbud. Dan, saya berharap PPM menggarap di kalangan pelajar agar radikalisme tidak kian membahayakan," tutur Chasan.

Selain itu, Dosen Institute Teknologi Surabaya (ITS), Agus Zainal Arifin, juga memberikan pesan agar dakwah tidak berakhir pada upaya menuduh atau menembak lawan. Sekarang ini, kata Agus, ada kecenderungan dakwah tanpa etika.

"Para wali itu kalau memberikan keterangan mengajak selalu akhirnya positif. Sunan Kudus melarang orang Islam menyembelih sapi untuk menghormati, bukan menembak lawan," katanya.

Jika dakwah sudah demikian strategis namun tidak ada yang mau mendekat, maka jangan dipaksa. Agus mencontohkan Tahlilan. Menurut Agus, tidak semua orang menerima konsep Tahlil.

"Tahlil itu konsep penting. Menyetujui tahlilan bagian dari keimanan berat. Iman itu kan suka-suka Allah yang diberikan kepada man yasya' (yang dikehendaki). Soal hidayah itu yahdii man yasya' wa yudhillu man yasya' (memberikan hidayah kepada yang dikehendaki dan menyesatkan kepada yang dikehendaki). Sementara, jika iman sudah diterima, termasuk soal tahlilan, orang tersebut akan mendapatkan ketentraman batin. Yang menerima tahlilan adalah mereka yang tathmainnul qulub (yang tenang hatinya)," terang Agus.

Anak-anak kampus IPB begitu tenang membaca tahlilan karena hidayah datang dari strategi dakwah tanpa tuduhan dan fitnah bin hoax. 

editor : M.e. Widjaya


1 comment: